Kisah Silicon Valley #16 – Perang Musik Digital: Kehancuran Dunia Musik

“Napster membajak musik kami tanpa meminta izin sama sekali,” Lars Ulrich, drummer Metallica berdarah Denmark yang dikenal pemberang itu mengungkapkan uneg-unegnya di hadapan Kongres AS. Saat itu Juli 2000, dan Kongres sedang mengadakan sidang dengar pendapat untuk kasus Napster, download gratis musik digital yang menghebohkan dunia musik di tamat 90-an hingga awal milenium. “Mereka tidak pernah meminta izin kami! Tapi berani menyediakan musik katalog kami untuk diunduh gratis dalam sistem Napster!”
Metallica ialah salah satu yang paling vokal bersuara akan kehadiran format digital yang sanggup dibagikan dengan gampang di tamat 90-an. Ini menimbulkan orang sanggup mengonversi rekaman CD menjadi format musik digital, kemudian dibagikannya cukup dengan format copy paste. Tidak perlu lagi membeli kaset atau CD musisi favorit! Masyarakat, utamanya kelas menengah ke bawah (sebagian besar mahasiswa yang melek teknologi) terperinci senang mendapati bahwa mereka bebas mendengarkan musik karya musisi idolanya secara gratis. Namun para musisi tentu saja menghadapi musuh seram yang mengancam kelangsungan periuk nasi mereka!
Berawal dari Toshiba

Di tengah puncak keresahan musisi akan Napster, pada tanggal 1 Desember 2000, Koji Hase memamerkan gagasan-gagasan gres Toshiba kepada pers. Hase ialah sosok sentral di balik gagasan CD ROM dan DVD Disk untuk komputer yang laku pada awal tahun 2000-an. Pada ketika Apple dipimpin Sculley, beliau juga mengerjakan proyek Personal Digital Assistant (PDA) – Kode sebuah mesin yang bisa dibawa ke mana-mana untuk membuat catatan.
Kali ini Hase mempresentasikan sebuah kartu kecil sebesar ibu jari. “Ini ialah flash memory” Wartawan ketika itu memang sudah mendengar perihal flash memory, sebuah perangkat yang bisa membaca dan menulis data dengan cepat dibandingkan hard drive standar, alasannya flash memory hanya terdiri dari transistor tanpa pecahan yang perlu berputar. “Saat ini kami hanya sanggup membuat flash memory dengan kapasitas 64MB. Tapi saya yakin pada 2002 nanti kami akan bisa membuat yang berukuran 1GB!”
Para wartawan berdecak kagum mendengar presentasi Hase. Mereka semakin terpesona ketika Hase mengungkapkan, “Aplikasi teknologi ini nantinya, sanggup kita gunakan dalam jam tangan. Kaprikornus kita akan sanggup memutar musik atau menonton video dari jam tangan kita!”
Apple Membangun Peluang

Beberapa hari kemudian Apple mengumumkan bahwa mereka merugi pada periode tersebut alasannya turunnya penjualan PC. Analis menyatakan bahwa ini alasannya komputer milik Apple tidak mempunyai CD Burner. Dalam periode itu, CD Burner merupakan piranti yang paling laku alasannya orang bisa menggunakannya untuk ‘membakar’ data file musik digital untuk kemudian disetel di perangkat menyerupai CD Player. Mereka bahkan bisa membuat kompilasi lagu-lagu favorit yang kemudian bisa dijual lagi. Bisnis ini cukup terkenal di awal tahun 2000-an!
Steve Jobs entah kenapa sangat enggan untuk ‘memasangkan’ CD Burner ke perangkat Apple. Dia menolak mendengarkan para jago pemasaran yang terus menggelontorkan data pentingnya CD Burner, namun anehnya, Jobs juga tidak mengatakan alasan niscaya atas sikapnya tersebut. Ketika ada orang dari perusahaan lain menanyakan kepada temannya yang bekerja di Apple, “Kenapa Apple tidak membuat Mac yang mempunyai CD Burner?” Maka dengan cukup menjawab, “Steve tidak menyukainya.” – Maka orang langsung akan maklum tanpa perlu menanyakan alasan apa-apa lagi.
Namun Jobs juga mengawasi fenomena di pasar dan menjadikannya landasan untuk seni administrasi selanjutnya. Jobs dikenal sangat menghargai musik dan beliau tidak ingin musik menjadi ‘murahan’ menyerupai yang terjadi ketika itu. Dalam ajaran Jobs, laju teknologi memang tak sanggup dicegah. Keberadaan musik digital memang tidak sanggup ditolak, tapi harus ada cara biar para penggiat musik mendapat laba dari fenomena musik digital ini.
Sebagai langkah awal, Apple membeli SoundJam, produk yang sanggup memutar MP3 dan memperabukan CD. Idenya ialah menimbulkan produk ini dalam satu ekosistem dengan Mac sebagai hub digital yang akan dipakai orang untuk menyimpan data CD yang kemudian bisa dibakar dengan SoundJam. Sebagai software perantara, Apple membuat iTunes, pecahan dari SoundJam yang dikembangkan sebagai pengelola musik digital. iTunes sanggup melakukan ripping data CD ke format MP3, kemudian memberi nama filenya secara otomatis, sehingga memudahkan pengguna untuk mencari data dalam library musik yang terbentuk.
Namun masih ada PR bagi para petinggi Apple. Mereka memerlukan satu produk lagi yang harus dihubungkan dengan Mac, sehingga orang akan membutuhkan Mac sebagai sentral dari produk tersebut. Dalam ajaran para petinggi Apple, ini akan menimbulkan penjualan Mac berangasan kembali.
Di antara para petinggi Apple, Jon Rubinstein ialah yang menemukan jawabannya! Dia menyaksikan presentasi flash memory dari Hase dan langsung mendapat ide: Bagaimana bila memanfaatkan flash memory untuk menampung lagu dan dipakai sebagai pemutar musik? Bayangan atas kesuksesan inspirasi ini menimbulkan Rubinstein bergejolak!
Lahirnya iPod

Ide ini cukup menarik bagi Steve Jobs. Saat melihat kondisi para pesaing, memang ketika ini ada beberapa alat pemutar MP3, namun tidak ada yang signifikan berdasarkan Jobs. Perusahaan yang paling ditakuti Jobs, Sony, masih belum tetapkan untuk terjun ke pasar tersebut. Mereka masih terbuai kesuksesan Walkman dengan CD Player. Kualitas produk para pesaing lain sanggup dikategorikan jelek berdasarkan standar Apple. Produk yang ada bila tidak terlalu besar dan berat, niscaya terlalu kecil dan terbatas. Jobs menginginkan produk yang kecil, tapi bisa menyimpan musik dalam jumlah besar!
PR lain bagi Apple, ketika itu kualitas transfer USB 1.1 memerlukan minimal satu menit untuk memindahkan data 20MB di Flash Memory. Ini sangat lambat dan juga menguras daya. Menggunakan Mac yang sifatnya portabel, proses menyerupai ini bakal langsung menghabiskan baterainya hanya untuk memindahkan data beberapa ratus MB.
Apple kemudian menemukan solusinya, yaitu teknologi yang kemudian dipatenkan Apple dengan nama FireWire. Sistem ini sanggup memindahkan data 30 kali lebih cepat dari USB 1.1! Apple kemudian meneken kontrak dengan Toshiba untuk mendapat jalan masuk langsung terhadap hard drive kecil tersebut dengan tidak memperbolehkan perusahaan lain untuk menirunya (sangat khas Steve Jobs).
Untuk desain, menyerupai biasa iPod diserahkan pada tim milik Johnny Ive. Namun penemu scroll wheel iPad original yang sangat fenomenal itu ialah kepala pemasaran Apple, Phil Schiller. Ide Schiller, adanya scroll wheel ini memudahkan jari untuk menggulir lagu dengan cepat. Menurut Schiller, jari bakal capek bila disuruh menekan tombol terus menerus, tapi dengan bentuk wheel maka tangan akan lebih gampang menggulir hingga balasannya menemukan lagu yang diinginkan.
Johnny Ive sendiri berfokus pada desain dan kesederhanaan. Konsep Ive – berbeda dengan pemutar MP3 pasaran – ialah jangan hingga perangkat ini menjadi ‘serbabisa’. iPod tidak memerlukan sambungan bluetooth, baterai yang sanggup dilepas, atau fitur-fitur lain yang membingungkan – Cukup memutar musik! Ive merancang iPod untuk sanggup dipakai dengan gampang dan sempurna serta terasa nyaman dalam genggaman pengguna. Alasan Ive, “Kami meluncurkan sebuah perangkat yang sebelumnya tidak dikenal oleh orang. Jika perangkat ini menunjukkan terlalu banyak hal yang sudah dimiliki perangkat lain, maka kami akan gagal total. Biarlah perangkat ini mempunyai satu saja kegunaan dan orang akan langsung sanggup menggunakannya untuk itu bahkan tanpa berguru sebelumnya!”
Pada tanggal 15 Oktober 2001, Apple mengirimkan ajakan kepada para jurnalis untuk menghadiri sebuah program di kantor pusatnya di Cupertino: “Selasa depan, Apple mengundang Anda ke program pembukaan sebuah breakthrough digital device – PS: Ini bukan Mac.”

iPod ternyata kemudian menjadi produk yang melebihi impian Steve Jobs dan Apple. Bagaimana kelanjutannya? Nantikan dalam Kisah Silicon Valley #17 – Perang Musik Digital: Fenomena iTunes dan iPod
Referensi
Arthur, Charles. (2013). Digital Wars – Apple, Google, Microsoft, dan Pertempuran Meraih Kekuasaan atas Internet. PT. Elex Media Komputindo
Isaacson, Walter. (2011). Steve Jobs. Simon & Schuster.
Sumber: https://winpoin.com/
0 Response to "Kisah Silicon Valley #16 – Perang Musik Digital: Kehancuran Dunia Musik"
Post a Comment